Teater Payung Hitam


Teater Payung Hitam
TEATER PAYUNG HITAM didirikan oleh Rahman Sabur pada 1982, di Bandung. Memasuki usia 28 tahun, kelompok ini telah memproduksi 80 pertunjukan. Dan, merupakan salah satu kelompok terdepan teater modern di Indonesia. Payung Hitam telah menjelajahi kota-kota di tanah air dan berpentas di berbagai festival bergengsi di luar negeri. Bahkan karya berjudul Katakitamati telah didokumentasikan dalam bentuk CD-Rom oleh Curriculum Corporation untuk digunakan sebagai media pendidikan seni di Sekolah Menengah Atas (SMA) South Victoria, Australia, dengan judul Asia Through Asian Eyes.

Pada awal berdirinya, Payung Hitam kerap mementaskan drama realis karya para penulis Indonesia. Kemudian mereka melakukan berbagai eksplorasi untuk mencari dan menemukan bentuk ekspresi dan gaya pementasan yang paling pas. Pencapaian terbaiknya, terjadi pada Kaspar (1994) dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam (1997), yang merupakan karya non-verbal. Hingga kemudian kelompok ini lebih identik dengan bentuk teater non-verbal.

Menurut Saini KM, teater non-verbalnya Payung Hitam tak lepas dari pengaruh Rahman Sabur sebagai penyair liris yang intens di awal karier kesenimanannya. Kecenderungan Rahman yang menghindari penghamburan kata dalam sajak-sajaknya kemudian bertransformasi dalam karya-karya teaternya yang kuat akan citra serta lambang visual, auditif dan kinetik.

Sebentuk adaptasi simbolik sekaligus perlawanan yang cerdik dan bertenaga lewat perwujudan pentas Payung Hitam yang liar, keras dan menohok.  Eksplorasi medium dan keterpesonaan terhadap logam dan batu yang mengkristal dalam Kaspar dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam menyiratkan hasrat perlawanan Payung Hitam yang berwatak masif seperti logam dan batu, penuh misteri di dalam kerumitan dan kompleksitas tubuh-tubuh teror. Tubuh adalah teks hidup yang lahir di ruang panggung yang bicara lebih banyak dari sekedar verbalitas kata-kata.

Walau identik dengan teater non-verbal, Payung Hitam selalu bergerak dan mengalir. Senantiasa membaca zaman dan bicara tentang zamannya. Dunia serta problem manusia dan masyarakat adalah medan rangsangan kreativitas. Payung Hitam ingin berdiri di garis idealisme, menyuarakan apa yang semestinya baik bagi kemajuan manusia.

Bobroknya kekuasaan Orde Baru dan wajah garang militerisme, misalnya, diparodikan dalam pentas Masbret adaptasi dari Macbeth karya Ionesco (1994) dan Tiang ½ Tiang (1999). Protes terhadap kekuasaan dan praktek politik (demokrasi) yang amburadul dalam Katakitamati (1998) dan Teater Musik Kaleng (1996). Perlawanan terhadap perilaku para elit penguasa yang bergelimang syahwat kuasa dalam Anzing (2007). Dan sejak runtuhnya rezim Orde Baru, Payung Hitam mulai fokus kepada alam serta lingkungan, terutama berkait dengan gejala kehancuran ekosistem dunia.

Pentas-pentas Payung Hitam menyiratkan intimitas yang hangat dan unik terhadap semesta kehidupan terutama terhadap batu, tanah (lumpur), akar (pohon) dan air. Tapi, Puisi Tubuh Yang Runtuh (2009) merupakan karya yang, bisajadi, menandai suatu awal perjalanan baru kontemplasi ketubuhan Payung Hitam. Hadir lebih hening. Dan sangat berbeda dengan puncak pencapaian yang keras, meneror dan bahkan “berdarah-darah” yang mengkristal secara kuat dalam Kaspar. Pentasnya tidak menggedor dengan gelegak. Tidak menghablur keluar, menyasar pelbagai isu sosial, politik ataupun lingkungan. Dan bukan karya yang berisi protes sosial melainkan semacam ziarah ke dalam. Karya yang terlihat lebih personal sifatnya.

Pentas itu, mungkin, lahir dari refleksi dan pergulatan Rahman Sabur saat mengalami stroke. Sakit dan realitas keruntuhan tubuh fisik mencuatkan kontemplasi akan ketidakkekalan tubuh. Tubuh wadah runtuh, namun keruntuhannya menorehkan suatu pemahaman dan kesadaran tertentu terhadap hidup dengan tubuh sebagai kendaraannya.
Silvester Petara Hurit - Penulis
Nano Riantiarno - Editor
 
Profil
RAHMAN SABUR lahir di Bandung, 12 September 1957, dari pasangan  R.Sabur Purawinata dan Tati Rohana. Sejak kecil sudah akrab dengan dunia kesenian. Ibunya suka menyanyi tembang Cianjuran dan main kecapi-suling. Hampir setiap minggu, dia diajak ayahnya menonton film-film Belanda. Dia sering ‘nonton sandiwara, tari, wayang, reog dan berbagai kesenian rakyat.

Tapi, mulai intens menonton teater sejak 1974, saat di SMA. Dia juga gemar menulis puisi. Pernah belajar Sinematografi pada Akademi Sinematografi Bandung (1978) dan jadi aktor Teater Sang Saka, yang disutradarai Bambang Budi Asmara.

Ketertarikan dan seringnya terlibat teater mendorongnya masuk Jurusan Teater Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung, 1979. Pada 1980, bergabung dengan Studiklub Teater Bandung asuhan Suyatna Anirun dan sempat jadi aktor. Dia berhasil meraih gelar Sarjana Muda Teater di ASTI Bandung (1984) dan Sarjana Seni pada Jurusan Tari di STSI Surakarta dengan karya Ritus Topeng Ritus (1989).

Debut perdananya sebagai sutradara, ketika dia menggarap Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, 1982, tahun pertama berdirinya Teater Payung Hitam. Dengan disiplin tinggi dan kerja keras, dia mulai menggarap berbagai lakon dari penulis tanah air hingga karya-karya dunia. Salah satu karya penyutradaraannya yang banyak dipuji adalah Menunggu Godot (1991).

Rahman, kemudian mengakhiri kesetiaannya pada teks lakon. Dia mulai mendekonstrusi teks bahkan sampai tingkat yang sangat “dekstruktif”. Dia mengganti verbalitas teks dengan komposisi tubuh, lenguhan, erangan, lengking dan desah nafas. Menjahit dan menabrakannya dengan pelbagai benda. Kekerasan, kesakitan dan perjuangan yang menantang bahaya, menyakiti diri secara garang dan riuh seperti yang tampak pada pertunjukan Kaspar (1994) dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam (1997).

Rahman adalah sutradara di balik nama besar Teater Payung Hitam. Kepekaan, tenaga emosi, disiplin, kerja keras dan perfeksionisme perwujudan pentasnya kerap membuat dia terkesan sebagai sutradara otoriter yang santun. Kegigihan dan militansinya tak diragukan lagi. Kerapkali dia dan kelompoknya melakukan latihan sepanjang malam dan bersambung dengan aktivitas di siang harinya sebagai pengajar di Jurusan Teater STSI Bandung.

Militansi yang dia bangun bersama kelompoknya, membuat tak sedikit seniman luar yang tertarik berkolaborasi dengannya. Antara lain dia pernah mengikuti kolaborasi Teater Tiga Negara Indonesia-Philipina-Jepang di Sibuya, Jepang (1997), juga dengan The Lunatics Theatre dari Belanda untuk pertunjukan di Oerol Festival dan di Thersclling, Holland (2005), dengan Tikka Sears (Amerika), Takeshi Yamada, Yitotsi Yanagi (Jepang), dan Ingrid Hauser (Jerman).

Selain diundang berpentas di berbagai festival di luar negeri, dia juga memandu workshop. Antara lain di Festival Perth Australia, di Universitas Murdoch dan di Black Swan Theatre. Beberapa kali dia diundang pula untuk jadi penguji pada ujian akhir di Akademi Teater Aswara, Malaysia.

Rahman Sabur adalah sutradara yang keranjingan mengulik kekerasan, luka dan kesakitan. Saat terserang stroke, dia tengah membimbing ujian teater mahasiswanya. Dengan kondisi tubuh yang  masih sakit, dia menyutradarai Puisi Tubuh Yang Runtuh lewat intruksi suara yang belum jelas terdengar dan kaki gemetaran. Teater adalah alat terapi bagi luka dan kesakitan lahir dan batin, pribadi dan masyarakat.

Dia berikrar, “Selama fisik dan psikis saya masih mampu, selamanya saya berteater. Teater adalah hidup dan mati saya. Berteater adalah berbagi ketulusan dan cinta, berbagi suka dan duka dengan lingkungan, manusia dan masyarakat. Itu pilihan dan sikap budaya saya”.
Silvester Petara Hurit - Penulis
Nano Riantiarno - Editor

1 komentar:

  1. saya benny, saya di jogjakarta, saya punya kelompok teater non verbal juga namanya jam malam yogyakarta, dgn adanya payung hitam foundation bisa kita bersinergi?misalnya dibantu pentas

    BalasHapus